Page 103 - Ironi Cukai Tembakau
P. 103
ain itu, upaya pembakuan (standardisasi) mutu tembakau untuk
mencapai kadar tar dan nikotin rendah, dalam jangka panjang
dapat merontokkan industri rokok kecil yang tidak punya kekuatan
modal memadai. Apalagi jika mengingat fakta bahwa bantuan yang
dikucurkan untuk kepentingan ini terlampau kecil. Untuk industri
rokok kecil, bantuannya berupa pembuatan LIK- IHT (Lingkungan
Industri Kecil - Industri Hasil Tembakau), yaitu membangun fasilitas
11 udang dengan sistem sewa seharga Rp 4 juta per tahun. Tujuannya
untuk membantu pengusaha kecil dan membangun kemitraan antara
mereka dengan industri menengah dan besar. LIK dibangun dua
tahap pada tahun 2010-2011 dan dilengkapi laboratorium untuk
mengukur kadar tar nikotin. Penggunaan laboratorium untuk
mengukur kadar nikotin memungut biaya sendiri, di luar biaya sewa.
LIK tersebut dikelola sebagai suatu Unit Pelaksaana Teknis Daerah
(UPTD) Bidang Industri, tetapi sampai sekarang fasilitas itu benar-
benar terbengkalai. Pasalnya, saat fasilitas itu selesai dibangun,
pabrik-babrik rokok kecil sidah terlebih dahulu bangkrut akibat
semakin ketatnya pemberlakuan cukai dan persyaratan usaha bagi
mereka, sehingga tidak ada yang memanfaatkannya.92
Dengan demikian, pemanfaatan DBH-CHT di Kudus sebagai sentra
industri rokok terbesar di Jawa Tengah, cenderung menelikung
industri rokok, dengan kegiatan program untuk karyawan rokok agar
beralih ke profesi lain. Satu sisi bermaksud baik, dalam sisi lain tidak
tepat ketika kegiatan tersebut dilaksanakan di dalam pabrik dan
menggunakan DBH-CHT. Belum lagi dalam perencanan programnya,
kalangan industri itu sedniri tidak pernah diajak berunding, apalagi
menjadi penerima manfaat. Kegiatan pemanfaatan DBH-CHT di
Kudus, secara umum memang sudah memenuhi standar kualifikasi
92 Wawancara Abdul Hamid, Kepala DISPERINKOP & UMKM Kudus, 3 Maret
2013.
Pelaksanaan DBH-CHT: Temuan di Lima Daerah | 85
mencapai kadar tar dan nikotin rendah, dalam jangka panjang
dapat merontokkan industri rokok kecil yang tidak punya kekuatan
modal memadai. Apalagi jika mengingat fakta bahwa bantuan yang
dikucurkan untuk kepentingan ini terlampau kecil. Untuk industri
rokok kecil, bantuannya berupa pembuatan LIK- IHT (Lingkungan
Industri Kecil - Industri Hasil Tembakau), yaitu membangun fasilitas
11 udang dengan sistem sewa seharga Rp 4 juta per tahun. Tujuannya
untuk membantu pengusaha kecil dan membangun kemitraan antara
mereka dengan industri menengah dan besar. LIK dibangun dua
tahap pada tahun 2010-2011 dan dilengkapi laboratorium untuk
mengukur kadar tar nikotin. Penggunaan laboratorium untuk
mengukur kadar nikotin memungut biaya sendiri, di luar biaya sewa.
LIK tersebut dikelola sebagai suatu Unit Pelaksaana Teknis Daerah
(UPTD) Bidang Industri, tetapi sampai sekarang fasilitas itu benar-
benar terbengkalai. Pasalnya, saat fasilitas itu selesai dibangun,
pabrik-babrik rokok kecil sidah terlebih dahulu bangkrut akibat
semakin ketatnya pemberlakuan cukai dan persyaratan usaha bagi
mereka, sehingga tidak ada yang memanfaatkannya.92
Dengan demikian, pemanfaatan DBH-CHT di Kudus sebagai sentra
industri rokok terbesar di Jawa Tengah, cenderung menelikung
industri rokok, dengan kegiatan program untuk karyawan rokok agar
beralih ke profesi lain. Satu sisi bermaksud baik, dalam sisi lain tidak
tepat ketika kegiatan tersebut dilaksanakan di dalam pabrik dan
menggunakan DBH-CHT. Belum lagi dalam perencanan programnya,
kalangan industri itu sedniri tidak pernah diajak berunding, apalagi
menjadi penerima manfaat. Kegiatan pemanfaatan DBH-CHT di
Kudus, secara umum memang sudah memenuhi standar kualifikasi
92 Wawancara Abdul Hamid, Kepala DISPERINKOP & UMKM Kudus, 3 Maret
2013.
Pelaksanaan DBH-CHT: Temuan di Lima Daerah | 85

