Page 87 - Ironi Cukai Tembakau
P. 87
ghabiskan biaya Rp 1,2 miliar; kampanye bahaya asap rokok
dengan biaya Rp 248,9 juta; pengembangan Akademi Keperawatan
(AKPER) dengan biaya Rp 335,8 juta; belanja obat sebesar Rp 457
juta; belanja perlengkapan medis sebesar Rp 1,5 miliar; dan beberapa
program lainnya. Di sini terlihat dominasi rezim kesehatan. DBH-
CHT yang idealnya digunakan untuk penguatan petani tembakau
dan industri hasil tembakau, justru dipakai untuk melemahkan
mereka. Menjadi pertanyaan: apakah AKPER tersebut milik petani
tembakau atau industri rokok dan untuk kepentingan mereka?
Apakah para petani tembakau atau pekerja industri hasil tembakau
dapat berobat gratis dengan semua peralatan atau obat-obatan yang
dibelanjakan menggunakan DBH-CHT? Dinas Pendidikan bahkan
memanfaatkan DBH-CHT sebesar Rp 2,83 miliar untuk kegiatan
sosialisasi bahaya rokok yang mengarah negatif terhadap hasil
tembakau.
Pelemahan usaha tani tembakau dan industri rokok juga dilakukan
lewat kegiatan-kegiatan diversifikasi tanaman dan usaha, yang
didukung aturan Gubernur Jawa Tengah dengan program
‘pengendalian areal tembakau’nya.
Sementara itu, program peningkatan kualitas bahan baku --yang
memperoleh alokasi sebesar Rp 27,34 miliar (hanya 26,79% dari
total perolehan DBH-CHT Jawa Tengah)-- mampu mencapai kinerja
kumulatif sebesar 97,27%. Pada program ini, hanya dua SKPD
yang terlibat, yaitu DISBUN yang menyerap dana sebesar Rp 17,3
miliar, dan DISPERINDAG dengan dana Rp 10 miliar. DISBUN
hanya mengusung dua tema besar, yaitu kegiatan ‘pembinaan dan
pengelolaan budidaya bahan baku tembakau’ dan ‘pembinaan dan
pengelolaan sarana produksi pengelolaan hasil bahan baku tembakau
dan cengkeh’. Adapun DISPERINDAG hanya melaksanakan satu
kegiatan, yaitu ‘pembinaan industri dan perdagangan pengolahan
tembakau di lingkungan industri pengolahan tembakau’.
Kenyataannya, program peningkatan kualitas bahan baku yang
dilakukan oleh DISBUN justru juga melakukan kegiatan yang
Pelaksanaan DBH-CHT: Temuan di Lima Daerah | 69
dengan biaya Rp 248,9 juta; pengembangan Akademi Keperawatan
(AKPER) dengan biaya Rp 335,8 juta; belanja obat sebesar Rp 457
juta; belanja perlengkapan medis sebesar Rp 1,5 miliar; dan beberapa
program lainnya. Di sini terlihat dominasi rezim kesehatan. DBH-
CHT yang idealnya digunakan untuk penguatan petani tembakau
dan industri hasil tembakau, justru dipakai untuk melemahkan
mereka. Menjadi pertanyaan: apakah AKPER tersebut milik petani
tembakau atau industri rokok dan untuk kepentingan mereka?
Apakah para petani tembakau atau pekerja industri hasil tembakau
dapat berobat gratis dengan semua peralatan atau obat-obatan yang
dibelanjakan menggunakan DBH-CHT? Dinas Pendidikan bahkan
memanfaatkan DBH-CHT sebesar Rp 2,83 miliar untuk kegiatan
sosialisasi bahaya rokok yang mengarah negatif terhadap hasil
tembakau.
Pelemahan usaha tani tembakau dan industri rokok juga dilakukan
lewat kegiatan-kegiatan diversifikasi tanaman dan usaha, yang
didukung aturan Gubernur Jawa Tengah dengan program
‘pengendalian areal tembakau’nya.
Sementara itu, program peningkatan kualitas bahan baku --yang
memperoleh alokasi sebesar Rp 27,34 miliar (hanya 26,79% dari
total perolehan DBH-CHT Jawa Tengah)-- mampu mencapai kinerja
kumulatif sebesar 97,27%. Pada program ini, hanya dua SKPD
yang terlibat, yaitu DISBUN yang menyerap dana sebesar Rp 17,3
miliar, dan DISPERINDAG dengan dana Rp 10 miliar. DISBUN
hanya mengusung dua tema besar, yaitu kegiatan ‘pembinaan dan
pengelolaan budidaya bahan baku tembakau’ dan ‘pembinaan dan
pengelolaan sarana produksi pengelolaan hasil bahan baku tembakau
dan cengkeh’. Adapun DISPERINDAG hanya melaksanakan satu
kegiatan, yaitu ‘pembinaan industri dan perdagangan pengolahan
tembakau di lingkungan industri pengolahan tembakau’.
Kenyataannya, program peningkatan kualitas bahan baku yang
dilakukan oleh DISBUN justru juga melakukan kegiatan yang
Pelaksanaan DBH-CHT: Temuan di Lima Daerah | 69

