Page 84 - Ironi Cukai Tembakau
P. 84
alah lainnya adalah sifat multi-tafsir PERMENKEU yang
membuat pelaksana dapat melanggarnya tanpa terkena sanksi,
bahkan tanpa dapat dibantah oleh kementerian sendiri. Pada tahun
2008, awalnya hanya lima provinsi yang mendapatkan alokasi DBH-
CHT. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa pemanfaatannya kurang
maksimal dan penyerapannya kurang tepat sasaran dan sering
terjadi SILPA. Akibatnya, waktu itu Kementerian Tenaga Kerja
hendak meminta tambahan anggaran 50% untuk ‘pemberdayaan’
Balai Latihan Kerja (BLK) di daerah-daerah tersebut. Namun,
pemerintah lima provinsi itu tidak setuju dan dua pihak (provinsi
di satu sisi, serta Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan
Kementerian Tenaga Kerja di sisi lain) melakukan sesi rapat terpisah.
Ketika bertemu kembali, pihak Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan menyodorkan jalan keluar bahwa bila Kementerian Tenaga
Kerja akan mendapatkan alokasi, maka harus ada penambahan
klausul khusus, yaitu “pembinaan lingkungan sosial”. Pasal inilah
yang kemudian menjadi klausul yang multi-tafsir, meski sudah
dibatasi dalam lingkup “pengentasan kemiskinan, penanggulangan
pemutusan hubungan kerja (PHK), dan mendorong perekonomian
daerah.”58
Contoh, dari lingkup kegiatan ini muncul prakarsa untuk
memasukkan beberapa program kerja yang tidak sesuai dengan
ketentuan PERMENKEU, semisal kegiatan magang petani untuk
memperkaya wawasan mereka, atau untuk pembangunan prasarana
seperti jalan usaha tani di daerah-daerah tembakau. Dua kegiatan
ini sebenarnya lebih tepat masuk ke dalam jenis kegiatan lain.
Tetapi nyatanya, dua-duanya tetap ‘lolos seleksi’. Sehingga, sulit
menghindari kesan bahwa bahkan pihak Kementerian Keuangan
sendiri kurang ketat mengawasi usulan-usulan kegiatan. Syaratnya,
menurut seorang pejabat di tingkat provinsi, “Asalkan dapat
dipertanggungjawabkan dengan baik pelaksanaannya [secara
58 Wawancara Mustofa, KABAG Ekonomi Biro Perekonomian Sekretariat
Daerah Jawa Tengah, 25 Februari 2013.
66 | IRONI CUKAI TEMBAKAU
membuat pelaksana dapat melanggarnya tanpa terkena sanksi,
bahkan tanpa dapat dibantah oleh kementerian sendiri. Pada tahun
2008, awalnya hanya lima provinsi yang mendapatkan alokasi DBH-
CHT. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa pemanfaatannya kurang
maksimal dan penyerapannya kurang tepat sasaran dan sering
terjadi SILPA. Akibatnya, waktu itu Kementerian Tenaga Kerja
hendak meminta tambahan anggaran 50% untuk ‘pemberdayaan’
Balai Latihan Kerja (BLK) di daerah-daerah tersebut. Namun,
pemerintah lima provinsi itu tidak setuju dan dua pihak (provinsi
di satu sisi, serta Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan
Kementerian Tenaga Kerja di sisi lain) melakukan sesi rapat terpisah.
Ketika bertemu kembali, pihak Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan menyodorkan jalan keluar bahwa bila Kementerian Tenaga
Kerja akan mendapatkan alokasi, maka harus ada penambahan
klausul khusus, yaitu “pembinaan lingkungan sosial”. Pasal inilah
yang kemudian menjadi klausul yang multi-tafsir, meski sudah
dibatasi dalam lingkup “pengentasan kemiskinan, penanggulangan
pemutusan hubungan kerja (PHK), dan mendorong perekonomian
daerah.”58
Contoh, dari lingkup kegiatan ini muncul prakarsa untuk
memasukkan beberapa program kerja yang tidak sesuai dengan
ketentuan PERMENKEU, semisal kegiatan magang petani untuk
memperkaya wawasan mereka, atau untuk pembangunan prasarana
seperti jalan usaha tani di daerah-daerah tembakau. Dua kegiatan
ini sebenarnya lebih tepat masuk ke dalam jenis kegiatan lain.
Tetapi nyatanya, dua-duanya tetap ‘lolos seleksi’. Sehingga, sulit
menghindari kesan bahwa bahkan pihak Kementerian Keuangan
sendiri kurang ketat mengawasi usulan-usulan kegiatan. Syaratnya,
menurut seorang pejabat di tingkat provinsi, “Asalkan dapat
dipertanggungjawabkan dengan baik pelaksanaannya [secara
58 Wawancara Mustofa, KABAG Ekonomi Biro Perekonomian Sekretariat
Daerah Jawa Tengah, 25 Februari 2013.
66 | IRONI CUKAI TEMBAKAU

