Page 40 - Ironi Cukai Tembakau
P. 40
gan mesin (sekarang disebut sebagai ‘Sigaret Kretek Mesin’ atau
SKM).
Pada tahun 1956, dikeluarkan UU Nomor 16 Tahun 1956 tentang
Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau.
Peraturan ini dikeluarkan dengan maksud untuk mengurangi
dampak semakin banyaknya perusahaan-perusahaan rokok
--terutama perusahaan-perusahaan kecil skala rumah tangga--
yang bangkrut akibat tingginya pengenaan cukai tembakau, selain
untuk merapihkan semua peraturan yang sudah ada mengenai
rokok sebagai produk hasil tembakau. Dalam hal ini pemerintah
memberikan subsidi kepada perusahaan-perusahaan rokok berupa
penurunan cukai pada jumlah tertentu dan pembebasan cukai
atas pengusaha-pengusaha rokok selama satu tahun (tax holiday).
Undang-undang baru ini tidak lagi menetapkan cukai berdasarkan
HJE per bungkus rokok, tetapi pada setiap batang rokok. Kebaikan
peraturan ini adalah bahwa pengusaha dapat menghitung harga
penjualan produk mereka dengan cara menghitung jumlah cukai
yang ditetapkan, sehingga harga jual ecerannya dapat diubah
sewaktu-waktu apabila pangsa pasar dari harga bahan baku
berubah-ubah dengan tidak perlu menambah pita cukainya.
Pada masa Orde Baru (1966-1998), pengaturan cukai rokok atau
cukai hasil tembakau semakin kompleks dan semakin dipadukan
dengan semua ketentuan mengenai cukai komoditi lainnya dalam
UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Undang-undang ini
kemudian diterapkan melalui berbagai peraturan pemerintah (PP),
antara lain, PP Nomor 24 Tahun 1996 tentang Pengenaan Sanksi
Administrasi di Bidang Cukai, PP Nomor 25 Tahun 1996 tentang
Izin Pengusaha Barang Kena Cukai, dan PP Nomor 55 Tahun 1996
tentang Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan
Cukai. Pada dasarnya, penetapan besarnya cukai pada masa ini
menggabungkan pendekatan atas dasar HJE dan atas dasar jumlah
batang rokok yang diatur dalam peraturan Menteri Keuangan.
Reformasi sistem politik dan hukum nasional pada tahun 1998
22 | IRONI CUKAI TEMBAKAU
SKM).
Pada tahun 1956, dikeluarkan UU Nomor 16 Tahun 1956 tentang
Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau.
Peraturan ini dikeluarkan dengan maksud untuk mengurangi
dampak semakin banyaknya perusahaan-perusahaan rokok
--terutama perusahaan-perusahaan kecil skala rumah tangga--
yang bangkrut akibat tingginya pengenaan cukai tembakau, selain
untuk merapihkan semua peraturan yang sudah ada mengenai
rokok sebagai produk hasil tembakau. Dalam hal ini pemerintah
memberikan subsidi kepada perusahaan-perusahaan rokok berupa
penurunan cukai pada jumlah tertentu dan pembebasan cukai
atas pengusaha-pengusaha rokok selama satu tahun (tax holiday).
Undang-undang baru ini tidak lagi menetapkan cukai berdasarkan
HJE per bungkus rokok, tetapi pada setiap batang rokok. Kebaikan
peraturan ini adalah bahwa pengusaha dapat menghitung harga
penjualan produk mereka dengan cara menghitung jumlah cukai
yang ditetapkan, sehingga harga jual ecerannya dapat diubah
sewaktu-waktu apabila pangsa pasar dari harga bahan baku
berubah-ubah dengan tidak perlu menambah pita cukainya.
Pada masa Orde Baru (1966-1998), pengaturan cukai rokok atau
cukai hasil tembakau semakin kompleks dan semakin dipadukan
dengan semua ketentuan mengenai cukai komoditi lainnya dalam
UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Undang-undang ini
kemudian diterapkan melalui berbagai peraturan pemerintah (PP),
antara lain, PP Nomor 24 Tahun 1996 tentang Pengenaan Sanksi
Administrasi di Bidang Cukai, PP Nomor 25 Tahun 1996 tentang
Izin Pengusaha Barang Kena Cukai, dan PP Nomor 55 Tahun 1996
tentang Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan
Cukai. Pada dasarnya, penetapan besarnya cukai pada masa ini
menggabungkan pendekatan atas dasar HJE dan atas dasar jumlah
batang rokok yang diatur dalam peraturan Menteri Keuangan.
Reformasi sistem politik dan hukum nasional pada tahun 1998
22 | IRONI CUKAI TEMBAKAU