Page 39 - Ironi Cukai Tembakau
P. 39
CUKAI HASIL TEMBAKAU DI INDONESIA
Sejak diperkenalkan pada tahun 1830 dan berhasil dikembangkan
secara masif menjadi salah satu tanaman ekspor andalan sejak
tahun 1858, tembakau sudah menjadi salah satu sumber pemasukan
keuangan negara bagi pemerintah kolonial Belanda.25 Maka, sejak
saat itu pula, komoditi eksotis ini dibebani pungutan pajak dalam
bentuk cukai, yakni atas produk olahannya dalam bentuk rokok,
sehingga sering juga disebut sebagai ‘cukai rokok’.
Namun, peraturan resmi yang sistematis atas pemungutan cukai
tembakau tersebut baru terwujud menjelang pertengahan abad ke-20.
Pemerintah kolonial Belanda mengaturnya dalam Staatsblad Nomor
517 Tahun 1932, Staatsblad Nomor 560 Tahun 1932, dan terakhir
dengan Staatsblad Nomor 234 Tahun 1949 tentang ‘Tabaksaccijns-
Ordonnantie’. Semua peraturan itu mengatur tentang pita cukai,
bea ekspor dan bea masuk impor, termasuk di dalamnya adalah
ketentuan mengenai besaran jumlah yang diterima pemerintah dari
pengutipan cukai tersebut.
Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia melanjutkan
pemungutan cukai tembakau dalam UU Darurat Nomor 22 Tahun
1950 Penurunan Cukai Tembakau. Undang-undang ini mengatur
harga jual eceran (HJE), pemungutan cukai yang diturunkan, dan
penetapan golongan-golongan pengusaha tembakau yang dibebani
kewajiban membayar cukai. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8
Tahun 1951 kemudian mengatur penetapan besarnya pungutan
cukai hasil tembakau dengan cara melekatkan pita cuka warna-
warni yang beragam pada beberapa jenis atau penggolongan hasil
tembakau yang diproduksi, yaitu: cerutu dan rokok yang dibuat
25 Iskandar, ‘Sekilas Tentang Tembakau’. Bahan presentasi pada Lokakarya
Koalisi Nasional Penyelamat Kretek (KNPK), Yogyakarta, 11-13 Desember
2012.
Keuangan Negara, Pajak & Cukai Tembakau | 21
Sejak diperkenalkan pada tahun 1830 dan berhasil dikembangkan
secara masif menjadi salah satu tanaman ekspor andalan sejak
tahun 1858, tembakau sudah menjadi salah satu sumber pemasukan
keuangan negara bagi pemerintah kolonial Belanda.25 Maka, sejak
saat itu pula, komoditi eksotis ini dibebani pungutan pajak dalam
bentuk cukai, yakni atas produk olahannya dalam bentuk rokok,
sehingga sering juga disebut sebagai ‘cukai rokok’.
Namun, peraturan resmi yang sistematis atas pemungutan cukai
tembakau tersebut baru terwujud menjelang pertengahan abad ke-20.
Pemerintah kolonial Belanda mengaturnya dalam Staatsblad Nomor
517 Tahun 1932, Staatsblad Nomor 560 Tahun 1932, dan terakhir
dengan Staatsblad Nomor 234 Tahun 1949 tentang ‘Tabaksaccijns-
Ordonnantie’. Semua peraturan itu mengatur tentang pita cukai,
bea ekspor dan bea masuk impor, termasuk di dalamnya adalah
ketentuan mengenai besaran jumlah yang diterima pemerintah dari
pengutipan cukai tersebut.
Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia melanjutkan
pemungutan cukai tembakau dalam UU Darurat Nomor 22 Tahun
1950 Penurunan Cukai Tembakau. Undang-undang ini mengatur
harga jual eceran (HJE), pemungutan cukai yang diturunkan, dan
penetapan golongan-golongan pengusaha tembakau yang dibebani
kewajiban membayar cukai. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8
Tahun 1951 kemudian mengatur penetapan besarnya pungutan
cukai hasil tembakau dengan cara melekatkan pita cuka warna-
warni yang beragam pada beberapa jenis atau penggolongan hasil
tembakau yang diproduksi, yaitu: cerutu dan rokok yang dibuat
25 Iskandar, ‘Sekilas Tentang Tembakau’. Bahan presentasi pada Lokakarya
Koalisi Nasional Penyelamat Kretek (KNPK), Yogyakarta, 11-13 Desember
2012.
Keuangan Negara, Pajak & Cukai Tembakau | 21