Page 25 - Tembakau, Negara, dan Keserakahan Modal Asing
P. 25
Tembakau dalam Pusaran Globalisasi
WTO, termasuk Suriah dan China yang baru saja bergabung. Beberapa
negara maju tersebut justru merupakan penganjur utama perdagangan
bebas. Tetapi, aturan dan nilai-nilai di WTO tidak menjadi penghalang
bagi negara-negara tersebut untuk memproteksi pertanian di negara
mereka. Hal ini menunjukkan pentingnya fungsi pertanian secara politik
dan ekonomi, sehingga ketika berdiplomasi di tingkat internasional,
mereka membungkus nilai-nilai keberpihakan tersebut menjadi concern
yang lebih penting dari agenda liberalisasi ekonomi.
Hal ini jauh berbeda dari kondisi kebijakan pertanian di
Indonesia, di mana elemen diplomasi internasional lebih merupakan
kepanjangan tangan dari rezim internasional. Pertanian domestik yang
menopang lebih dari 60% hidup masyarakat Indonesia tidak menjadi
perhatian pengambil kebijakan di Indonesia. Kebijakan ekonomi makro
di Indonesia baik fiskal, moneter, investasi, maupun perdagangan
yang kurang, bahkan sama sekali tidak memihak dan mengorbankan
kepentingan pembangunan sektor pertanian. Kebijakan yang diterapkan
terlalu bias perkotaan, jasa dan industri seperti otomotif, petrokimia,
tekstil, baja, dan properti, serta terus mendorong proses konglomerasi
yang merapuhkan fondasi perekonomian nasional.
Diskriminasi politik terhadap sektor pertanian tersebut sangat
paradoksal. Padahal, disadari atau tidak, perekonomian nasional masih
bertumpu pada sektor pertanian. Peran agrobisnis pertanian yang
sangat strategis, jelas dapat dilihat dari sumbangannya pada tahun 2003
sebesar 12% pada PDB nasional serta menyediakan kesempatan kerja
kurang lebih 60% dari total tenaga kerja keseluruhan, juga sebagai
penyedia pangan bagi 220 juta penduduk, bahan baku industri, sumber
devisa, sekaligus menjadi pasar potensial bagi produk-produk sektor
manufaktur. Lebih dari itu, sektor pertanian, khususnya petani pangan,
memberikan kontribusi yang sangat signifikan pada stabilitas nasional
melalui penciptaan ketahanan dan kedaulatan pangan.
Dalam konteks globalisasi ada kecenderungan terjadi proses
perluasan pemiskinan negara-negara berkembang di dunia (globalization
11
WTO, termasuk Suriah dan China yang baru saja bergabung. Beberapa
negara maju tersebut justru merupakan penganjur utama perdagangan
bebas. Tetapi, aturan dan nilai-nilai di WTO tidak menjadi penghalang
bagi negara-negara tersebut untuk memproteksi pertanian di negara
mereka. Hal ini menunjukkan pentingnya fungsi pertanian secara politik
dan ekonomi, sehingga ketika berdiplomasi di tingkat internasional,
mereka membungkus nilai-nilai keberpihakan tersebut menjadi concern
yang lebih penting dari agenda liberalisasi ekonomi.
Hal ini jauh berbeda dari kondisi kebijakan pertanian di
Indonesia, di mana elemen diplomasi internasional lebih merupakan
kepanjangan tangan dari rezim internasional. Pertanian domestik yang
menopang lebih dari 60% hidup masyarakat Indonesia tidak menjadi
perhatian pengambil kebijakan di Indonesia. Kebijakan ekonomi makro
di Indonesia baik fiskal, moneter, investasi, maupun perdagangan
yang kurang, bahkan sama sekali tidak memihak dan mengorbankan
kepentingan pembangunan sektor pertanian. Kebijakan yang diterapkan
terlalu bias perkotaan, jasa dan industri seperti otomotif, petrokimia,
tekstil, baja, dan properti, serta terus mendorong proses konglomerasi
yang merapuhkan fondasi perekonomian nasional.
Diskriminasi politik terhadap sektor pertanian tersebut sangat
paradoksal. Padahal, disadari atau tidak, perekonomian nasional masih
bertumpu pada sektor pertanian. Peran agrobisnis pertanian yang
sangat strategis, jelas dapat dilihat dari sumbangannya pada tahun 2003
sebesar 12% pada PDB nasional serta menyediakan kesempatan kerja
kurang lebih 60% dari total tenaga kerja keseluruhan, juga sebagai
penyedia pangan bagi 220 juta penduduk, bahan baku industri, sumber
devisa, sekaligus menjadi pasar potensial bagi produk-produk sektor
manufaktur. Lebih dari itu, sektor pertanian, khususnya petani pangan,
memberikan kontribusi yang sangat signifikan pada stabilitas nasional
melalui penciptaan ketahanan dan kedaulatan pangan.
Dalam konteks globalisasi ada kecenderungan terjadi proses
perluasan pemiskinan negara-negara berkembang di dunia (globalization
11