Page 49 - Kretek Pusaka Nusantara
P. 49
TEK Pusaka Nusantara
Dengan produksi kretek ini pulalah, usahanya menjadi besar dengan
nama resmi perusahaan Sigaretan Fabriek M.Niti Semito Koedoes. Awal
1914 pabrik kreteknya melibatkan ribuan tenaga kerja, bahkan di masa
puncaknya pernah memperkerjakan 15.000 orang.
Banyak orang yang kemudian mengikuti jejaknya, sehingga antara
tahun 1912-1918, tumbuh pabrik rokok baru bak jamur di musim hujan.
Tidak sebatas di Kudus, namun juga di Semarang, Surabaya, Blitar, Kediri,
Tulungagung, Malang, dan seterusnya. Untuk di Kudus sendiri telah berdiri
sejumlah pabrik kretek, seperti cap “Delima” (pemilik Haji Ashadi), cap
“Mrico” (keluarga Atmo), dan cap “Jangkar Duren” (pemilik Haji Ali
Asikin).
Kemudian di sekitaran Kudus, tepatnya Pati, pada tahun 1930 muncul
merk “Menak Djinggo”, hasil kongsi antara Kho Djie Siong dan Tan Djie
Siong. Tahun 1935 pabrik ini pindah ke Kudus, yang di kemudian hari
(1953) memproduksi kretek cap “Nojorono”. Mengingat Nojorono mendapat
sambutan hangat di konsumen, maka pada tahun 1973, nama tersebut
dijadikan nama badan usaha: PT Nojorono Kudus.
Selanjutnya pada tahun 1936 muncul kretek dengan merek “Gentong
Gotri” (pemilik Kho Djie Hay). Disusul merk “Djambu Bol” pada tahun
1937, dengan pemilik Haji Ma’roef. Tahun 1949 berdiri lagi pabrik kretek
cap “Sukun”. Sampai akhirnya muncul nama baru, Oei Wie Gwan, yang
mendirikan pabrik kretek “Djarum”, yang terbesar di Kudus, dan terus
meraksaksa sampai sekarang.
Setelah para pengusaha pribumi berhasil mencapai kemajuan, para
pengusaha Tionghoa beramai-ramai mengikuti jejak mereka. Maka
masuklah era kompetisi, yang mencapai puncaknya pada peristiwa
kerusuhan Oktober 1918 di Kudus. Saat itu banyak pabrik rokok yang rusak,
bahkan hancur, karena dibakar. Banyak pengusaha pribumi yang dihukum
setelah kerusuhan, yang berakibat industri rokok kretek mengalami
kemunduran.
Usai huru-hara pengusaha Tionghoa berhasil memperkuat
kedudukannya dalam industri rokok di Kudus. Setelah tahun 1924 industri
rokok kembali berkembang, baik di daerah Kudus , maupun di kawasan yang
relatif jauh dari Kudus, seperti Kediri, Blitar, Tulungagung dan Malang. Bila
40
Dengan produksi kretek ini pulalah, usahanya menjadi besar dengan
nama resmi perusahaan Sigaretan Fabriek M.Niti Semito Koedoes. Awal
1914 pabrik kreteknya melibatkan ribuan tenaga kerja, bahkan di masa
puncaknya pernah memperkerjakan 15.000 orang.
Banyak orang yang kemudian mengikuti jejaknya, sehingga antara
tahun 1912-1918, tumbuh pabrik rokok baru bak jamur di musim hujan.
Tidak sebatas di Kudus, namun juga di Semarang, Surabaya, Blitar, Kediri,
Tulungagung, Malang, dan seterusnya. Untuk di Kudus sendiri telah berdiri
sejumlah pabrik kretek, seperti cap “Delima” (pemilik Haji Ashadi), cap
“Mrico” (keluarga Atmo), dan cap “Jangkar Duren” (pemilik Haji Ali
Asikin).
Kemudian di sekitaran Kudus, tepatnya Pati, pada tahun 1930 muncul
merk “Menak Djinggo”, hasil kongsi antara Kho Djie Siong dan Tan Djie
Siong. Tahun 1935 pabrik ini pindah ke Kudus, yang di kemudian hari
(1953) memproduksi kretek cap “Nojorono”. Mengingat Nojorono mendapat
sambutan hangat di konsumen, maka pada tahun 1973, nama tersebut
dijadikan nama badan usaha: PT Nojorono Kudus.
Selanjutnya pada tahun 1936 muncul kretek dengan merek “Gentong
Gotri” (pemilik Kho Djie Hay). Disusul merk “Djambu Bol” pada tahun
1937, dengan pemilik Haji Ma’roef. Tahun 1949 berdiri lagi pabrik kretek
cap “Sukun”. Sampai akhirnya muncul nama baru, Oei Wie Gwan, yang
mendirikan pabrik kretek “Djarum”, yang terbesar di Kudus, dan terus
meraksaksa sampai sekarang.
Setelah para pengusaha pribumi berhasil mencapai kemajuan, para
pengusaha Tionghoa beramai-ramai mengikuti jejak mereka. Maka
masuklah era kompetisi, yang mencapai puncaknya pada peristiwa
kerusuhan Oktober 1918 di Kudus. Saat itu banyak pabrik rokok yang rusak,
bahkan hancur, karena dibakar. Banyak pengusaha pribumi yang dihukum
setelah kerusuhan, yang berakibat industri rokok kretek mengalami
kemunduran.
Usai huru-hara pengusaha Tionghoa berhasil memperkuat
kedudukannya dalam industri rokok di Kudus. Setelah tahun 1924 industri
rokok kembali berkembang, baik di daerah Kudus , maupun di kawasan yang
relatif jauh dari Kudus, seperti Kediri, Blitar, Tulungagung dan Malang. Bila
40

