Page 53 - Ekspedisi Cengkeh
P. 53
AMMAD IMRANImbas dari harga yang mencekik petani itu, beberapa petani di
Desa Kompang menebang pohon cengkeh mereka. Namun, mampu
dicegah oleh beberapa orang, termasuk Pak Hodde, sehingga
penebangan tidak terjadi secara massal, sebagaimana terjadi di
beberapa desa tetangganya. “Jangan kalian tebang. Justru tanam
lebih banyak. Nanti suatu saat Soeharto akan mati. Yakin saja,
cengkeh yang kalian tanam harganya akan bagus lagi,” tutur Pak
Hodde.
Meski begitu, tak urung beberapa warga mulai menanam tanaman
lain di samping cengkeh. Maka tanaman cokelat diperbanyak.
Rambutan dan sebagainya ditanam di sela-sela cengkeh. Cokelat
perlahan menyaingi cengkeh sang primadona. Pemerintah, lewat
Dinas Pertanian, sangat ambil peduli dengan tanaman baru ini.
Penyuluhan rutin dilakukan. Seminar-seminar dilaksanakan dan
mengundang para petani. Usaha-usaha yang tak pernah diberlakukan
atas cengkeh.
Ternyata, masa emas cokelat pun tak bertahan lama. Menjelang akhir
tahun 2000-an, tanaman itu perlahan mulai ‘sakit-sakitan’. Penyakit,
seperti penggerek batang, mulai menyerangnya. Sekeras apapun
usaha pemerintah mengatasinya, tetap saja tak berhasil.
Setidak-tidaknya, begitulah yang dirasakan warga Kompang.
Pak Hasan mengatakan, sekarang sudah banyak petani
Kompang yang menebang habis cokelat mereka. Cokelat kini
nyaris tamat riwayatnya. Pak Hasan sendiri merencanakan
perlahan-lahan akan mengganti seluruh pohon cokelatnya
dengan cengkeh. “Tahun depan, semua cokelat saya akan
saya ganti dengan cengkeh,” tegasnya.
September 2013 ini adalah puncak panen raya bagi Desa
Kompang. Bunga-bunga cengkeh memang bukan yang
terbaik dibanding bulan-bulan sebelumnya—khususnya Juli
dan Agustus. Harganya sedikit turun, namun tidak drastis.
Tetapi warga Kompang yakin, cengkeh akan tetap menjadi
andalan dan primadona.
Cengkeh adalah tabungan masa depan mereka. v
Lewat Usia Empat Dasawarsa | 25
Desa Kompang menebang pohon cengkeh mereka. Namun, mampu
dicegah oleh beberapa orang, termasuk Pak Hodde, sehingga
penebangan tidak terjadi secara massal, sebagaimana terjadi di
beberapa desa tetangganya. “Jangan kalian tebang. Justru tanam
lebih banyak. Nanti suatu saat Soeharto akan mati. Yakin saja,
cengkeh yang kalian tanam harganya akan bagus lagi,” tutur Pak
Hodde.
Meski begitu, tak urung beberapa warga mulai menanam tanaman
lain di samping cengkeh. Maka tanaman cokelat diperbanyak.
Rambutan dan sebagainya ditanam di sela-sela cengkeh. Cokelat
perlahan menyaingi cengkeh sang primadona. Pemerintah, lewat
Dinas Pertanian, sangat ambil peduli dengan tanaman baru ini.
Penyuluhan rutin dilakukan. Seminar-seminar dilaksanakan dan
mengundang para petani. Usaha-usaha yang tak pernah diberlakukan
atas cengkeh.
Ternyata, masa emas cokelat pun tak bertahan lama. Menjelang akhir
tahun 2000-an, tanaman itu perlahan mulai ‘sakit-sakitan’. Penyakit,
seperti penggerek batang, mulai menyerangnya. Sekeras apapun
usaha pemerintah mengatasinya, tetap saja tak berhasil.
Setidak-tidaknya, begitulah yang dirasakan warga Kompang.
Pak Hasan mengatakan, sekarang sudah banyak petani
Kompang yang menebang habis cokelat mereka. Cokelat kini
nyaris tamat riwayatnya. Pak Hasan sendiri merencanakan
perlahan-lahan akan mengganti seluruh pohon cokelatnya
dengan cengkeh. “Tahun depan, semua cokelat saya akan
saya ganti dengan cengkeh,” tegasnya.
September 2013 ini adalah puncak panen raya bagi Desa
Kompang. Bunga-bunga cengkeh memang bukan yang
terbaik dibanding bulan-bulan sebelumnya—khususnya Juli
dan Agustus. Harganya sedikit turun, namun tidak drastis.
Tetapi warga Kompang yakin, cengkeh akan tetap menjadi
andalan dan primadona.
Cengkeh adalah tabungan masa depan mereka. v
Lewat Usia Empat Dasawarsa | 25

