Page 62 - Ekspedisi Cengkeh
P. 62
i. Hutan yang kini jadi lahan cengkehnya, dulunya adalah tempat
persembunyiannya bersama teman-temannya. “Satu per satu temannya
pergi karena tak tahan tinggal di hutan. Jadi La Baratang bersama
sedikit temannya mulai membuka hutan,” tutur Jhon.
La Baratang kemudian mulai menjadi buah pembicaraan pada tahun
1993. Masa itu Soeharto masih berkuasa. La Baratang lalu dikenal
sebagai petani yang berani protes satu kebijakan yang bernama Badan
Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC), yang pertama kali
diberlakukan pada 1992. Salah satu aturan dalam kebijakan ini adalah
mewajibkan petani cengkeh untuk menjual hasil cengkeh mereka
hanya lewat koperasi.
Efek dari kebijakan ini salah satunya adalah jatuhnya harga cengkeh
secara drastis. La Baratang terkena dampaknya. Selain itu, uang petani
yang tersimpan dalam koperasi tak pernah kembali, hingga BPPC
bubar pada 1998. Petani menjerit. Mereka kemudian menanggapi
keadaan itu dengan menebang pohon cengkeh mereka. La Baratang
memilih jalan lain. Ia melakukan protes, mulai mendatangi gedung
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Soppeng dan
DPRD Provinsi Sulawesi Selatan di Makassar. Bahkan, sampai ke
Jakarta menemui Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di DPR-RI.
Keberaniannya memprotes kebijakan yang akhirnya menyeret
beberapa nama penting --seperti Presiden Soeharto, Tommy Soeharto,
dan Nurdin Halid dari Induk Koperasi Unit Desa (INKUD)-- membuat
ia dihargai dan disegani. Pada salah satu sudut di dinding musallah
rumahnya, terpajang satu sertifikat bertarikh 2001. Di sana dikatakan:
“Penghargaan dan dukungan moral ini diberikan kepada anggota
masyarakat yang memiliki dedikasi dan secara konsisten menunjukkan
keberanian untuk menjadi saksi, pelapor, dan pembela kepentingan
rakyat” --Lokakarya Nasional Anti Korupsi.
Meskipun demikian, La Baratang sendiri dirundung kekecewaan.
Akibat kebijakan itu, La Baratang rela membuntungi lengan kanannya
dengan parang. Sebab inilah La Baratang semakin ‘melegenda’.
***
Kini yang bertanggung-jawab dan mengelola lahan milik La Baratang
adalah istri dan anak-anaknya. Merekalah yang mengorganisir para
pekerja, memastikan semua pekerjaan tuntas. Anak La Baratang ada
tiga orang. Menantu-menantunya juga ikut membantu.
34 | EKSPEDISI CENGKEH
persembunyiannya bersama teman-temannya. “Satu per satu temannya
pergi karena tak tahan tinggal di hutan. Jadi La Baratang bersama
sedikit temannya mulai membuka hutan,” tutur Jhon.
La Baratang kemudian mulai menjadi buah pembicaraan pada tahun
1993. Masa itu Soeharto masih berkuasa. La Baratang lalu dikenal
sebagai petani yang berani protes satu kebijakan yang bernama Badan
Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC), yang pertama kali
diberlakukan pada 1992. Salah satu aturan dalam kebijakan ini adalah
mewajibkan petani cengkeh untuk menjual hasil cengkeh mereka
hanya lewat koperasi.
Efek dari kebijakan ini salah satunya adalah jatuhnya harga cengkeh
secara drastis. La Baratang terkena dampaknya. Selain itu, uang petani
yang tersimpan dalam koperasi tak pernah kembali, hingga BPPC
bubar pada 1998. Petani menjerit. Mereka kemudian menanggapi
keadaan itu dengan menebang pohon cengkeh mereka. La Baratang
memilih jalan lain. Ia melakukan protes, mulai mendatangi gedung
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Soppeng dan
DPRD Provinsi Sulawesi Selatan di Makassar. Bahkan, sampai ke
Jakarta menemui Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di DPR-RI.
Keberaniannya memprotes kebijakan yang akhirnya menyeret
beberapa nama penting --seperti Presiden Soeharto, Tommy Soeharto,
dan Nurdin Halid dari Induk Koperasi Unit Desa (INKUD)-- membuat
ia dihargai dan disegani. Pada salah satu sudut di dinding musallah
rumahnya, terpajang satu sertifikat bertarikh 2001. Di sana dikatakan:
“Penghargaan dan dukungan moral ini diberikan kepada anggota
masyarakat yang memiliki dedikasi dan secara konsisten menunjukkan
keberanian untuk menjadi saksi, pelapor, dan pembela kepentingan
rakyat” --Lokakarya Nasional Anti Korupsi.
Meskipun demikian, La Baratang sendiri dirundung kekecewaan.
Akibat kebijakan itu, La Baratang rela membuntungi lengan kanannya
dengan parang. Sebab inilah La Baratang semakin ‘melegenda’.
***
Kini yang bertanggung-jawab dan mengelola lahan milik La Baratang
adalah istri dan anak-anaknya. Merekalah yang mengorganisir para
pekerja, memastikan semua pekerjaan tuntas. Anak La Baratang ada
tiga orang. Menantu-menantunya juga ikut membantu.
34 | EKSPEDISI CENGKEH

