Page 33 - Ekspedisi Cengkeh
P. 33
ajar dari sejarah panjang pasang-surut cengkeh sejak masa
penjajahan dulu, pertanyaan ini sama sekali tak bisa dijawab hanya
dengan logika pasar atau nalar ekonomi murni. Kebijakan politik
sangat pekat mewarnai nasib benda yang pernah menjadi rebutan
berbagai bangsa dan kalangan ini.
Dan, itulah yang sangat mencengangkan pada sikap pemerintah
negeri ini. Sejak dulu, kebijakan pemerintah nyaris hanya
memperlakukan cengkeh tak lebih dari sekedar barang jualan yang
hanya diperhatikan jika harganya memang memungkinkan untuk
memungut cukai, retribusi atau pajak lebih besar. Minat dan perhatian
mereka pada benda ini hanyalah pada besarnya rente ekonomi yang
dapat mereka peroleh. Sampai sekarang pun, nyaris tak ada sama
sekali kebijakan bersengaja dan berpandangan jauh ke depan untuk
melindungi jenis tanaman yang --oleh keberadaan muasal dan sifat
alamiahnya-- justru sangat patut menjadi salah satu ‘warisan alam
dan budaya khas Nusantara’. Sama sekali tak ada konservasi, proteksi
atau subsidi. Bahkan pembinaan yang sangat elementer pun alpa,
misalnya, dalam hal kebutuhan perbaikan teknis budidaya, perluasan
lahan, penyediaan bibit, sampai ke penyediaan prasarana dan sarana
khusus untuk kelancaran tataniaga yang lebih menguntungkan bagi
petani lokal.
Apalagi dalam hal pengembangan. Para anggota tim ekspedisi
ini menemui kesulitan, jika tak ingin disebut gagal, menemukan
para peneliti dan pakar khusus di bidang percengkehan, bahkan di
kampus-kampus perguruan tinggi atau lembaga-lembaga penelitian
di jantung daerah penghasil cengkeh utama itu sendiri. Kecuali
segelintir peneliti dan pakar sejarah ekonomi dan politik rempah-
rempah secara umum, sumber-sumber informasi di Universitas
Hasanuddin di Makassar, Universitas Tadulako di Palu, Universitas
Sam Ratulangie di Manado, Universitas Khairun di Ternate, dan
Universitas Pattimura di Ambon, menggelengkan kepala jika ditanyai
tentang keberadaan pakar khusus mengenai tanaman cengkeh atau
pala. Seorang dosen Fakultas Pertanian Universitas Pattimura di
Ambon4 juga mengakui belum ada seorang pun rekannya, termasuk
dirinya sendiri, yang secara terus-menerus dan tekun melakukan
riset dan pengembangan tanaman cengkeh. Para mahasiswa Fakultas
4 Dr. Dominggus Male, pers.comm,, 28 Agustus 2013.
PENDAHULUAN | 5
penjajahan dulu, pertanyaan ini sama sekali tak bisa dijawab hanya
dengan logika pasar atau nalar ekonomi murni. Kebijakan politik
sangat pekat mewarnai nasib benda yang pernah menjadi rebutan
berbagai bangsa dan kalangan ini.
Dan, itulah yang sangat mencengangkan pada sikap pemerintah
negeri ini. Sejak dulu, kebijakan pemerintah nyaris hanya
memperlakukan cengkeh tak lebih dari sekedar barang jualan yang
hanya diperhatikan jika harganya memang memungkinkan untuk
memungut cukai, retribusi atau pajak lebih besar. Minat dan perhatian
mereka pada benda ini hanyalah pada besarnya rente ekonomi yang
dapat mereka peroleh. Sampai sekarang pun, nyaris tak ada sama
sekali kebijakan bersengaja dan berpandangan jauh ke depan untuk
melindungi jenis tanaman yang --oleh keberadaan muasal dan sifat
alamiahnya-- justru sangat patut menjadi salah satu ‘warisan alam
dan budaya khas Nusantara’. Sama sekali tak ada konservasi, proteksi
atau subsidi. Bahkan pembinaan yang sangat elementer pun alpa,
misalnya, dalam hal kebutuhan perbaikan teknis budidaya, perluasan
lahan, penyediaan bibit, sampai ke penyediaan prasarana dan sarana
khusus untuk kelancaran tataniaga yang lebih menguntungkan bagi
petani lokal.
Apalagi dalam hal pengembangan. Para anggota tim ekspedisi
ini menemui kesulitan, jika tak ingin disebut gagal, menemukan
para peneliti dan pakar khusus di bidang percengkehan, bahkan di
kampus-kampus perguruan tinggi atau lembaga-lembaga penelitian
di jantung daerah penghasil cengkeh utama itu sendiri. Kecuali
segelintir peneliti dan pakar sejarah ekonomi dan politik rempah-
rempah secara umum, sumber-sumber informasi di Universitas
Hasanuddin di Makassar, Universitas Tadulako di Palu, Universitas
Sam Ratulangie di Manado, Universitas Khairun di Ternate, dan
Universitas Pattimura di Ambon, menggelengkan kepala jika ditanyai
tentang keberadaan pakar khusus mengenai tanaman cengkeh atau
pala. Seorang dosen Fakultas Pertanian Universitas Pattimura di
Ambon4 juga mengakui belum ada seorang pun rekannya, termasuk
dirinya sendiri, yang secara terus-menerus dan tekun melakukan
riset dan pengembangan tanaman cengkeh. Para mahasiswa Fakultas
4 Dr. Dominggus Male, pers.comm,, 28 Agustus 2013.
PENDAHULUAN | 5

