Page 31 - Ekspedisi Cengkeh
P. 31
ganti saling mengalahkan, tetapi pemenang terakhir adalah
Belanda. Melalui Perusahaan Dagang Hindia Timur (Vereenigde
Oostindische Compagnie, VOC) yang dibentuk pada awal abad-17
(tepatnya tahun 1609), Belanda melancarkan ekspedisi Pelayaran
Hongi (Hongie Tochten), untuk memusnahkan semua tanaman
cengkeh di Ternate, Tidore, Moti, dan Makian, lalu membatasi
ketat penanamnya hanya di Pulau-pulau Ambon dan Lease --yang
lebih dekat ke Banda sebagai pusat pemerintahan mereka sebelum
akhirnya dipindahkan ke Batavia. Praktis, sejak akhir abad-16,
Belanda pun menguasai penuh perdagangan rempah-rempah Maluku
dengan jumlah produksi rerata 2.500 sampai 4.500 ton per tahun.3
Meskipun peran utama rempah-rempah Maluku itu kemudian
tergusur pada abad-18 dan 19 oleh beberapa barang eksotika
tropis lainnya --hasil perkebunan-perkebunana besar baru di Pulau
Sumatera dan Jawa: tebu, tembakau, lada, kopi, teh, nila, kelapa
sawit, dan kayu jati-- namun sejarah sudah mencatat bahwa dua
jenis rempah-rempah Maluku itulah yang mengawali penjelajahan
sekaligus penjajahan kepulauan Nusantara oleh bangsa-bangsa
Eropah, terutama Belanda (Topatimasang, ed., 2004:32).
Jika saja tak pernah ada cengkeh dan pala di Maluku, mungkin
sejarah kepulauan Nusantara ini akan berbeda sama sekali.
***
Masa suram cengkeh dan pala terus berlangsung sampai pertengahan
abad-20. Rempah eksotika yang pernah membuat tergila-gila
para saudagar Arab, pedagang Cina, serta kaum ningrat Eropa itu,
tergantikan perannya oleh penemuan teknologi mesin pendingin
berkat Revolusi Industri yang dimulai di Inggris pada pertengahan
abad-18. Pasaran cengkeh di Eropa pun merosot tajam.
Nasibnya terselamatkan berkat penemuan oleh seorang Haji
Djamhari di Kudus, Jawa Tengah. Pada akhir tahun 1880-an, Haji
3 Uraian lebih rinci sejarah kolonialisme rempah-rempah Nusantara ini,
terutama oleh Belanda dan Portugis, dapat dibaca pada beberapa sumber
kepustakaan yang sudah dikenal luas, antara lain: Glamann (1958) dan
Boxer (1965 dan 1969). Dalam risalah klasik Pires disebutkan bahwa pada
tahun 1512-1521 saja, jumlah produksi cengkeh di Maluku sudah mencapai
7.250 bahar per tahun, terbesar adalah di Makian serta Amboina dan Lease
(masing-masing 1.500 bahar)(Pires, 1512-1515).
PENDAHULUAN | 3
Belanda. Melalui Perusahaan Dagang Hindia Timur (Vereenigde
Oostindische Compagnie, VOC) yang dibentuk pada awal abad-17
(tepatnya tahun 1609), Belanda melancarkan ekspedisi Pelayaran
Hongi (Hongie Tochten), untuk memusnahkan semua tanaman
cengkeh di Ternate, Tidore, Moti, dan Makian, lalu membatasi
ketat penanamnya hanya di Pulau-pulau Ambon dan Lease --yang
lebih dekat ke Banda sebagai pusat pemerintahan mereka sebelum
akhirnya dipindahkan ke Batavia. Praktis, sejak akhir abad-16,
Belanda pun menguasai penuh perdagangan rempah-rempah Maluku
dengan jumlah produksi rerata 2.500 sampai 4.500 ton per tahun.3
Meskipun peran utama rempah-rempah Maluku itu kemudian
tergusur pada abad-18 dan 19 oleh beberapa barang eksotika
tropis lainnya --hasil perkebunan-perkebunana besar baru di Pulau
Sumatera dan Jawa: tebu, tembakau, lada, kopi, teh, nila, kelapa
sawit, dan kayu jati-- namun sejarah sudah mencatat bahwa dua
jenis rempah-rempah Maluku itulah yang mengawali penjelajahan
sekaligus penjajahan kepulauan Nusantara oleh bangsa-bangsa
Eropah, terutama Belanda (Topatimasang, ed., 2004:32).
Jika saja tak pernah ada cengkeh dan pala di Maluku, mungkin
sejarah kepulauan Nusantara ini akan berbeda sama sekali.
***
Masa suram cengkeh dan pala terus berlangsung sampai pertengahan
abad-20. Rempah eksotika yang pernah membuat tergila-gila
para saudagar Arab, pedagang Cina, serta kaum ningrat Eropa itu,
tergantikan perannya oleh penemuan teknologi mesin pendingin
berkat Revolusi Industri yang dimulai di Inggris pada pertengahan
abad-18. Pasaran cengkeh di Eropa pun merosot tajam.
Nasibnya terselamatkan berkat penemuan oleh seorang Haji
Djamhari di Kudus, Jawa Tengah. Pada akhir tahun 1880-an, Haji
3 Uraian lebih rinci sejarah kolonialisme rempah-rempah Nusantara ini,
terutama oleh Belanda dan Portugis, dapat dibaca pada beberapa sumber
kepustakaan yang sudah dikenal luas, antara lain: Glamann (1958) dan
Boxer (1965 dan 1969). Dalam risalah klasik Pires disebutkan bahwa pada
tahun 1512-1521 saja, jumlah produksi cengkeh di Maluku sudah mencapai
7.250 bahar per tahun, terbesar adalah di Makian serta Amboina dan Lease
(masing-masing 1.500 bahar)(Pires, 1512-1515).
PENDAHULUAN | 3

