Page 23 - Ironi Cukai Tembakau
P. 23
4. Pembagian dana bagi hasil cukai hasil tembakau sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan persetujuan Menteri,
dengan komposisi 30% (tiga puluh persen) untuk provinsi penghasil,
40% (empat puluh persen) untuk kabupaten/kota daerah penghasil,
dan 30% (tiga puluh persen) untuk kabupaten/kota lainnya.

Ketentuan tersebut jelas-jelas memperlihatkan bahwa kewenangan
pengelolaan yang dilimpahkan kepada para gubernur dari
provinsi penerima DBH-CHT, pada dasarnya, terbatas pada
pelaksanaan dari keputusan dan peraturan yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat (dalam hal ini adalah Menteri Keuangan).
Dengan kata lain, yang terjadi adalah ‘dekonsentrasi’, bukan
atau belum ‘desentralisasi’ kewenangan. Hal ini menimbulkan
kontroversi terhadap salah satu gagasan pokok yang mendasari
lahirnya kebijakan DBH-CHT itu sendiri, yakni sebagai bagian dari
pelaksanaan kebijakan desentralisasi sistem pemerintahan atau
otonomi daerah pasca reformasi sistem politik dan hukum nasional
sejak tahun 1998. Inilah yang menyebabkan munculnya beberapa
pertanyaan tentang DBH-CHT yang terkesan mendapat ‘perlakuan
khusus’ dibanding beberapa dana bagi hasil lainnya, seperti
‘Dana Bagi Hasil Sumberdaya Alam’ (DBH-SA), misalnya, dalam
besaran prosentase, peruntukan, serta mekanisme pengelolaan dan
pengawasannya.

Selain permasalahan politik tersebut, kebijakan pengaturan
pengelolaan dan penggunaan DBH-CHT juga menimbulkan
persoalan tersendiri di bidang hukum administrasi negara.
Pemberian kewenangan dari undang-undang yang ‘melompat
jauh’ kepada Menteri Keuangan untuk mengaturnya dalam
Peraturan Menteri atau Surat Keputusan Menteri tanpa harus
ada Peraturan Pemerintah, dalam konteks hukum tata negara
memang dibenarkan, tetapi hal tersebut terlihat janggal. Pemberian
kewenangan pengaturan DBH-CHT berdasarkan pasal a quo dalam
undang-undang adalah sangat rawan penyalahgunaan wewenang,
paling tidak dalam kenyataan pelaksanaannya.

Pendahuluan | 5
   18   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28