Page 22 - Ironi Cukai Tembakau
P. 22
ar ini bahkan jauh lebih tinggi dari penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) serta pajak jenis lainnya di luar Pajak Penghasilan
(PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).5
Karena jumlahnya yang sangat besar dan terus meningkat tersebut
membuat pemerintah Indonesia harus membuat suatu peraturan
khusus untuk pemanfaatannya. Pengaturan khusus itu dijabarkan
dalam UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai dan UU Nomor
39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 1995
tentang Cukai (untuk selanjutnya disebut singkat sebagai ‘UU
Cukai’) serta beberapa Peraturan Menteri (PERMEN). Dalam Pasal
66A ayat (1) UU Cukai disebutkan bahwa:
“Penerimaan negara dari cukai hasil tembakau yang dibuat
di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil
tembakau sebesar 2% (dua persen) yang digunakan untuk mendanai
peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan
lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau
pemberantasan barang kena cukai ilegal.”
Pembagian dana cukai hasil tembakau itulah yang kemudian
disebut resmi atau dikenal sebagai ‘Dana Bagi Hasil Cukai
Hasil Tembakau’ (DBH-CHT).Mekanisme dasar pengaturan dan
pengelolaan DBH-CHT ini selanjutnya diatur dalam Pasal 66A ayat
(3) dan (4) UU Cukai yang menyebutkan:
3. Gubernur mengelola dan menggunakan dana bagi hasil cukai
hasil tembakau dan mengatur pembagian dana bagi hasil cukai
hasil tembakau kepada bupati/walikota di daerahnya masing-
masing berdasarkan besaran kontribusi penerimaan cukai hasil
tembakaunya.
5 Anton Rahmadi, ”Efektivitas Fatwa Haram Rokok dan Alternatif Industri
Tembakau”, http://belida.unmul.ac.id/index.php?option=com_content&t
ask=view&id=86&Itemid=2
4 | IRONI CUKAI TEMBAKAU
Bangunan (PBB) serta pajak jenis lainnya di luar Pajak Penghasilan
(PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).5
Karena jumlahnya yang sangat besar dan terus meningkat tersebut
membuat pemerintah Indonesia harus membuat suatu peraturan
khusus untuk pemanfaatannya. Pengaturan khusus itu dijabarkan
dalam UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai dan UU Nomor
39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 1995
tentang Cukai (untuk selanjutnya disebut singkat sebagai ‘UU
Cukai’) serta beberapa Peraturan Menteri (PERMEN). Dalam Pasal
66A ayat (1) UU Cukai disebutkan bahwa:
“Penerimaan negara dari cukai hasil tembakau yang dibuat
di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil
tembakau sebesar 2% (dua persen) yang digunakan untuk mendanai
peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan
lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau
pemberantasan barang kena cukai ilegal.”
Pembagian dana cukai hasil tembakau itulah yang kemudian
disebut resmi atau dikenal sebagai ‘Dana Bagi Hasil Cukai
Hasil Tembakau’ (DBH-CHT).Mekanisme dasar pengaturan dan
pengelolaan DBH-CHT ini selanjutnya diatur dalam Pasal 66A ayat
(3) dan (4) UU Cukai yang menyebutkan:
3. Gubernur mengelola dan menggunakan dana bagi hasil cukai
hasil tembakau dan mengatur pembagian dana bagi hasil cukai
hasil tembakau kepada bupati/walikota di daerahnya masing-
masing berdasarkan besaran kontribusi penerimaan cukai hasil
tembakaunya.
5 Anton Rahmadi, ”Efektivitas Fatwa Haram Rokok dan Alternatif Industri
Tembakau”, http://belida.unmul.ac.id/index.php?option=com_content&t
ask=view&id=86&Itemid=2
4 | IRONI CUKAI TEMBAKAU

