Page 74 - Ekspedisi Cengkeh
P. 74
kan kembali sehat. Perlakuan ini juga harus terjadi pada cengkeh
dewasa.
Seperti kawasan lainnya pada awal September 2013, hujan menyiram
Haruku tanpa henti. Banyak petani mengurungkan panen meski
berbatang cengkeh mereka sudah layak panen. Hujan yang kebanyakan
juga menghajar buah cengkeh sampai gugur. “Sementara anak-anak
sekarang tidak seperti kami dulu. Mereka sudah malas ambil biji-biji
jatuh,” ujar Clif.
Ancaman lain bagi cengkeh adalah ulat dan lawa-lawa (laba-laba)
putih. Ulat penyebab daun cengkeh menguning ini sekilas seperti
ulat sagu. Namun, kata Clif, ulat itu di dalam batang. Petani bakal
kesulitan mencarinya karena tak ada lubang penanda. Berbeda dengan
lawa-lawa putih penyebab daun kering karena tampak jelas jaring-
jaring yang rekat di dahan dan ranting.
Clif lahir 1970. Ia merasakan sendiri bagaimana BPPC menghajar
petani cengkeh. Harga cengkeh sebelum berkuasanya BPCC adalah
Rp 7.500 per kilogram, turun menjadi Rp 2.000 per kilogram. Cliff
ketika itu merupakan salah seorang pemuda Haruku yang menempuh
pendidikan di Kota Ambon ketika harga cengkeh terjun bebas.
“Uang angkutan ke sekolah waktu itu masih Rp 25 atau Rp 50. Uang
jajan saya juga segitu.” kata Cliff, yang kini bertani cengkeh. “Karena
BPPC, kami tidak bisa lanjut sekolah lagi. Kami tiba-tiba dilarang
kuliah,” tambahnya, tertunduk.
Orangtua Clif, Eliza Kissya (64) dan Elizabeth Kissya Reiuwpassa
(63), masa itu berprofesi sebagai pedagang cengkeh. Mereka membeli
cengkeh seharga Rp 5.000 per kilogram, terpaksa dijual seharga Rp
2.500 per kilogram. Orangtuanya kemudian berpindah profesi. “Bapak
waktu itu tanam sayur, saya menjahit karena harus membiayai enam
anak yang waktu itu semuanya sudah sekolah,” terang Mama Liz, yang
sampai kini masih menjahit.
Cliff mengaku, ia lebih banyak membiakkan anakan. “Waktu badan
saya tambah berat, saya memilih bekerja di persemaian saja,” kata
lelaki muda bertubuh subur itu tertawa terbahak.
46 | EKSPEDISI CENGKEH
dewasa.
Seperti kawasan lainnya pada awal September 2013, hujan menyiram
Haruku tanpa henti. Banyak petani mengurungkan panen meski
berbatang cengkeh mereka sudah layak panen. Hujan yang kebanyakan
juga menghajar buah cengkeh sampai gugur. “Sementara anak-anak
sekarang tidak seperti kami dulu. Mereka sudah malas ambil biji-biji
jatuh,” ujar Clif.
Ancaman lain bagi cengkeh adalah ulat dan lawa-lawa (laba-laba)
putih. Ulat penyebab daun cengkeh menguning ini sekilas seperti
ulat sagu. Namun, kata Clif, ulat itu di dalam batang. Petani bakal
kesulitan mencarinya karena tak ada lubang penanda. Berbeda dengan
lawa-lawa putih penyebab daun kering karena tampak jelas jaring-
jaring yang rekat di dahan dan ranting.
Clif lahir 1970. Ia merasakan sendiri bagaimana BPPC menghajar
petani cengkeh. Harga cengkeh sebelum berkuasanya BPCC adalah
Rp 7.500 per kilogram, turun menjadi Rp 2.000 per kilogram. Cliff
ketika itu merupakan salah seorang pemuda Haruku yang menempuh
pendidikan di Kota Ambon ketika harga cengkeh terjun bebas.
“Uang angkutan ke sekolah waktu itu masih Rp 25 atau Rp 50. Uang
jajan saya juga segitu.” kata Cliff, yang kini bertani cengkeh. “Karena
BPPC, kami tidak bisa lanjut sekolah lagi. Kami tiba-tiba dilarang
kuliah,” tambahnya, tertunduk.
Orangtua Clif, Eliza Kissya (64) dan Elizabeth Kissya Reiuwpassa
(63), masa itu berprofesi sebagai pedagang cengkeh. Mereka membeli
cengkeh seharga Rp 5.000 per kilogram, terpaksa dijual seharga Rp
2.500 per kilogram. Orangtuanya kemudian berpindah profesi. “Bapak
waktu itu tanam sayur, saya menjahit karena harus membiayai enam
anak yang waktu itu semuanya sudah sekolah,” terang Mama Liz, yang
sampai kini masih menjahit.
Cliff mengaku, ia lebih banyak membiakkan anakan. “Waktu badan
saya tambah berat, saya memilih bekerja di persemaian saja,” kata
lelaki muda bertubuh subur itu tertawa terbahak.
46 | EKSPEDISI CENGKEH

