Page 13 - Ironi Cukai Tembakau
P. 13
GANTAR

Seorang teman pernah berpesan agar “hati-hati” jika suatu saat kami
harus melakukan penelitian tentang Dana Bagi Hasil – Cukai Hasil
Tembakau (DBH-CHT). Saya tidak terlalu ngeh dengan pesan tersebut.
Bukan karena saya tidak perhatian tetapi saat itu, saya memang tidak
sedang bergulat dengan isu DBH-CHT.

Hampir di sepanjang tahun 2012, saya ikut mendampingi tim Indonesia
Berdikari (IB) yang melakukan pendidikan petani tembakau di Jawa
Tengah, Jawa Timur dan di Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada periode
itulah, kata-kata yang merujuk pada DBH-CHT semakin sering saya
dengar. Mereka, para petani, sering menyebut dengan istilah “DBH”
atau “DBHCT”. Tapi apapun yang mereka sebut, pastilah istilah itu
mengacu pada istilah DBH-CHT. Mereka sering mengeluh dan meminta
agar ada penelitian tentang DBH-CHT. Sejak itulah saya merasa perlu
menyimpan secara khusus istilah tersebut di dalam pikiran saya.

DBH-CHT memang ada di dalam sebuah tumpukan persoalan di dunia
industri hasil tembakau kita (baca: kretek). Suatu hal yang seolah-olah
tidak menyimpan persoalan apapun, menguntungkan, positif dan
bermanfaat, padahal belum tentu seperti itu.

Apabila kita tanya ke sembarang orang, maka kebanyakan dari mereka
akan mengacaukan istilah “cukai” dengan “pajak” atau bahkan dengan
dana Corporate Social Responsibility (CSR). Padahal ketiga istilah tersebut
secara prinsip sangat berbeda. Bahkan banyak aktivis antirokok
yang juga tidak tahu. Sering saya dapati komentar mereka di jejaring
sosial yang menunjukkan ketidaktahuan mereka atas apa itu “cukai”.
Stigma dan “kriminalisasi” pada para perokok tampaknya sudah
terlalu menutup mata sehingga prinsip-prinsip etika dan pengertian
hukum diterabas begitu saja sehingga hak-hak dasar perokok sebagai
warganegara juga hendak disingkirkan, termasuk membelokkan dan
mempreteli pengertian dan argumen dasar atas penggunaan cukai.
   8   9   10   11   12   13   14   15   16   17   18