Page 45 - Membunuh Indonesia
P. 45
TEK MEMBUNUH INDONESIA
Yang Tanggal dan Tinggal dalam
Ingatan Kebudayaan

“ke·re·tek [1] /keréték/ n bunyi daun terbakar.
ke·re·tek [2] /keréték/ n rokok yg tembakaunya dicampuri serbuk

cacahan cengkih”3

Lantaran perbedaannya dengan rokok yang diperkenalkan dan 29
dibawa oleh kolonialis Eropa ke Indonesia, pantaslah kalau kita me-
mahami bahwa kretek memang bukan sekadar rokok. Pada mula
kemunculannya, kretek dikenal dengan sebutan ‘rokok cengkeh’.
Nama ‘kretek’ diambil dari bunyi yang timbul ketika ia diisap. Sebelum
dieja sebagaimana lazimnya sekarang, mula-mula ia disebut ‘keretek’
atau kumréték dalam bahasa Jawa, layaknya bunyi keréték-keréték yang
terdengar ketika serpihan cengkeh dalam rajangan tembakau bertemu
dengan api. Tak jarang, kandungan cengkeh dalam kretek juga membuat
bara api dari ujung kretek meletik (meloncat) dan melubangi pakaian.
Dari bunyi yang khas itulah nama ‘kretek’ berasal (onomatopeic).

Orang Indonesia kerap memahami kretek sebatas sebagai sigaret yang
tidak menggunakan filter (busa). Pada tahun ’60 hingga ’70-an, kretek
bahkan identik dengan sigaret untuk kalangan bawah. Sesungguhnya,
ditinjau dari asal katanya, yang membedakan kretek dengan jenis sigaret
yang lain adalah kandungan cengkeh dan unsur-unsur herba/rempah
alamiah lain di dalamnya. Jika rokok putih (jenis rokok konvensional yang
berasal dari Barat) hanya mengandung tembakau, kretek merupakan
produk hasil racikan tembakau dengan cacahan cengkeh dan tambahan
saus. Racikan khas Indonesia inilah yang membuat sigaret kretek
memiliki rasa dan aroma berbeda dari jenis sigaret yang lain.

Kretek juga merupakan hasil percampuran yang amat kaya. Jika
sebatang rokok putih hanya mengandung paling banyak tiga jenis
tembakau (dikenal dengan sebutan American Blends, terdiri dari
campuran tembakau Virginia, Burley, dan tembakau Oriental—biasanya
jenis turkish), dalam sebatang kretek bisa terkandung belasan, bahkan
mencapai lebih dari tiga puluh jenis tembakau yang berasal dari seluruh
pelosok Indonesia.

3 Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Departemen Pendidikan Nasional,
Jakarta: 2003, hal. 552.
   40   41   42   43   44   45   46   47   48   49   50