Page 47 - Ironi Cukai Tembakau
P. 47
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi atas penyalahgunaan
alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri.
Berdasarkan uraian di atas, setidaknya ada beberapa persoalan
mendasar, yaitu:
1. Penerimaan negara dari pungutan cukai hasil tembakau hanya
dibagikan sebesar 2% kepada daerah penghasil cukai hasil
tembakau dan daerah penghasil tembakau. Tidak ada kejelasan
dengan sisanya sebesar 98%. Hal ini jelas berbeda dengan
ketentuan DBH dalam UU Perimbangan Keuangan di mana
pengaturan pembagian itu terlihat jelas dan realistik.
2. Tujuan penggunaan DBH-CHT pada UU Cukai tersebut terbatas
pada lima peruntukan, sedangkan tujuan DBH dalam UU
Perimbangan Keuangan adalah untuk mengurangi kesenjangan
fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
dan antar pemerintah daerah. Dengan demikian, pertanyaan
mendasarnya adalah mengapa alokasi CHT dirumuskan sebagai
DBH tetapi dengan peruntukan yang berbeda dengan DBH
lainnya?
3. Alokasi DBH-CHT diberikan wewenangnya kepada gubernur
daerah penerima untuk mengelola, menggunakan, dan mengatur
pembagiannya kepada para bupati/walikota di daerahnya
masing-masing. Meskipun demikian, alokasi yang akan dilakukan
oleh pihak gubernur terlebih dahulu harus mendapat persetujuan
dari pemerintah pusat (dalam hal ini Menteri Keuangan).
4. Pengawasan terhadap penggunaan DBH-CHT langsung
dilakukan oleh Menteri Keuangan di mana penyalahgunaan
DBH-CHT hanya dikenakan sanksi administrasi berupa
penangguhan sampai dengan penghentian penyalurannya kepada
pemerintah daerah penerima.
Dengan kata lain, pada tingkat undang-undang, regulasi yang
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau | 29
alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri.
Berdasarkan uraian di atas, setidaknya ada beberapa persoalan
mendasar, yaitu:
1. Penerimaan negara dari pungutan cukai hasil tembakau hanya
dibagikan sebesar 2% kepada daerah penghasil cukai hasil
tembakau dan daerah penghasil tembakau. Tidak ada kejelasan
dengan sisanya sebesar 98%. Hal ini jelas berbeda dengan
ketentuan DBH dalam UU Perimbangan Keuangan di mana
pengaturan pembagian itu terlihat jelas dan realistik.
2. Tujuan penggunaan DBH-CHT pada UU Cukai tersebut terbatas
pada lima peruntukan, sedangkan tujuan DBH dalam UU
Perimbangan Keuangan adalah untuk mengurangi kesenjangan
fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
dan antar pemerintah daerah. Dengan demikian, pertanyaan
mendasarnya adalah mengapa alokasi CHT dirumuskan sebagai
DBH tetapi dengan peruntukan yang berbeda dengan DBH
lainnya?
3. Alokasi DBH-CHT diberikan wewenangnya kepada gubernur
daerah penerima untuk mengelola, menggunakan, dan mengatur
pembagiannya kepada para bupati/walikota di daerahnya
masing-masing. Meskipun demikian, alokasi yang akan dilakukan
oleh pihak gubernur terlebih dahulu harus mendapat persetujuan
dari pemerintah pusat (dalam hal ini Menteri Keuangan).
4. Pengawasan terhadap penggunaan DBH-CHT langsung
dilakukan oleh Menteri Keuangan di mana penyalahgunaan
DBH-CHT hanya dikenakan sanksi administrasi berupa
penangguhan sampai dengan penghentian penyalurannya kepada
pemerintah daerah penerima.
Dengan kata lain, pada tingkat undang-undang, regulasi yang
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau | 29

