Page 93 - Membunuh Indonesia
P. 93
TEK MEMBUNUH INDONESIA
Ketangguhan Industri yang Teruji

Industri kretek telah membuktikan diri menjadi hanya sedikit,
bahkan mungkin satu-satunya, dari industri nasional yang mampu bertahan

dari berbagai terpaan badai pergolakan sosial dan politik, perang dan
pemberontakan bersenjata, juga krisis perekonomian global maupun lokal.1

Awal abad XX. Hadji Djamhari telah tiada, tetapi permintaan atas 77
kretek tidak ikut mati, sebaliknya justru terus meningkat. Permintaan
bahkan meluas dari sekitar Kudus sampai ke daerah-daerah lain di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Dasar ekonomi kota Kudus pun bergeser.
Industri berkembang. Seluruhnya milik pribumi.

Pada masa yang sama, Belanda makin mengukuhkan kekuasaan.
Untuk pertama kalinya sejak ratusan tahun yang dilewatkan dengan
upaya penaklukan, seluruh wilayah di Nusantara akhirnya berhasil
ditundukkan. Perlawanan di berbagai daerah yang masih tersisa di abad
XX berhasil dikandaskan. Tahun 1904, perlawanan di Sumatera Utara
kandas. Tahun 1907, perlawanan di Tanah Batak dan Jambi kandas.
Tahun 1908, perlawanan di Bali, yang lebih dikenal dengan Perang
Puputan, dan di Kalimantan (Selatan dan Tengah) kandas. Terakhir,
tahun 1912, perlawanan di Aceh kandas.

Sementara itu, pernyataan-pernyataan keprihatinan atas kesejahteraan
Hindia Belanda—sebutan untuk Nusantara pada waktu itu—telah
melahirkan Politik Etis. Fajar baru seolah-olah merekah, tetapi tidak
ada yang berubah kecuali bentuk penjajahan. Kebijakan yang lahir
tetap dalam kerangka liberalisme. Agresivitas modal terus menekan,
bahkan kian tak terbendung. Jika di tahun 1900 penetrasi modal asing
di Nusantara baru mencapai angka 750 juta gulden, di tahun 1914 telah
melesat menjadi 1,7 miliar gulden.2

1 Topatimasang, Roem, (ed), dkk, Kretek: Kajian Ekonomi dan Budaya 4 Kota, Indonesia Berdikari,
Yogyakarta, 2010, hal. 139.

2 Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia Jilid V:
Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda, Balai Pustaka, Jakarta: 2008, hal. 169.
   88   89   90   91   92   93   94   95   96   97   98